January 29, 2011

Soe Hok-Gie..,sekali lagi


Diiringi lagu Donna Donna oleh Joan Baez aku mencoba melukiskan sosok Gie yang hanya kukenal lewat buku, tulisan dan film.

Sejujurnya aku mengenal lagu ini sejak kelas 6 SD dari kaset Felicia’s folks song papa. Tapi aku lebih menyukai versi yang kukenal pertama kali, karena lebih nge-beat dan lebih country. Jadi lebih semangat aja.

BUku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya. . . .
Sosok Gie baru kukenal ketika film GIE yang disutradarai oleh Riri Reza, diproduseri oleh Mira Lesmana dan diperankan Nicholas Saputra rilis tahun 2005. Sebelum nonton film ini, aku rela ngantri berhari-hari demi dapat gilran untuk meminjam buku Catatan Seorang Demonstran dari seorang teman (waktu itu masih kelas 2 SMA). Niat awalnya supaya nanti sedikt lebih mengerti jalan cerita yang kata teman-teman pada saat itu berat dan membingungkan.

Megembalikan memori ke jaman SMA saat aku membaca buku CSD teryata tidak mudah. (Apalagi mereka yang telah mengisi tulisan untuk buku ‘SHG, sekali lagi’ ya..). Aku mencoba mengingat-ingat apa saja yang kutangkap pada saat itu. Yang kuingat adalah betapa aku terpesona akan tulisan Gie yang kritis tapi juga puitis. Kontras, memang. Tapi itu kenyataannya. Kritis, ketika tulisannya yang di muat di koran selalu mengritik pemerintahan dengan lugas dan sangat berani. Puitis, ketika membaca kumpulan puisi, catatan haran dan beberapa suratnya.

Saat itu puisi Gie yang paling terkenal berjudul ‘Sebuah Tanya’ (1 April 1969). Puisi yang sampai saat ini masih jadi favoritku dianatara semua puisi Gie.
Setelah memabaca buku ‘SHG,sekali lagi’ baru kutau ternyata puisi favorit Gie dan beberapa pengagumnya justru ‘Mandalawangi-Pangrango’ (19 Juli 1966). Namun ada potongan puisi itu yang kusuka:
“Hidup adalah soal keberanian,
Menghadapi tanda tanya,
Tanpa bisa kita mengerti, tanpa bisa kita menawar
Terimalah, dan hadapilah”

Menurut mereka yang mengenal Gie secara langsung, Gie adalah sosok yang idealis, kritis, pembela rakyat, selalu memperjuangkan HAM, nasionalis, dan bersemangat.

Tidak berlebihan, kurasa.
Menurutku Gie memang sosok dengan intelektual yang tinggi, berani, konsisten dan tangguh. Dengan kondisi Indonesia yang masih belum stabil, semasa hidupnya Gie berani mengeluarkan tulisan yang jujur dan tajam. Tulisan yang begitu murni dari pikrannya. Mengingat bagaimana pada masa itu pers belum memiliki tingkat kebebasan dan keterbukaan seperti sekarang, Gie sebenarnya hidup dalam ancaman. Dalam bahasa minang, dia adalah sosok yang mada. Dia bisa saja dibunuh sewaktu-waktu karena tidak pernah kapok mengkritik pemerintah.

Gie adalah penulis yang produktif. Terbukti semasa hidupnya yang singkat (27 tahun), ia mampu menghasilkan 100an lebih artikel yang di muat di koran, 132 surat (temuan Stanley JA Prasetyo), dan catatan harian yang ditulis di buku biasa.

Dan aku iri pada kemampuannya yang dengan mudah tetap menulis tanpa pernah kehabisan inspirasi. Kurasa hobi mendaki gunung yang menjadikan dia selalu punya waktu untuk menjernihkan pikiran atau sekedar having sweet escape dari segala rutinitas dan dinamika kehidupannya.

Idealis. Gie adalah aktifis yang independen dan bebas. Selain aktif di Mapala dan Radio UI, Gie pernah menyandang ketua SM (Senat Mahasiswa)-FSUI, GMS (Gerakan Mahasiswa Sosialis) dan GP (Gerakan Pembaruan). Dialah yang menolak organisasi ekstra kampus yang merupakan antek-antek partai atau keagamaan masuk kedalam dunia kampus. Karena sikap bebas nya juga Gie memutuskan untuk tidak lagi bergabung dengan GP karena dirasa tidak lagi sejalan dengan hatinya.
Dengan menyandang status ‘mahasiswa’ yang berbeda zaman dengan Gie, aku salut dengan kepeduliannya terhadap rakyat, politik, dan pemerintahan. Dan bagaimana kepeduliannya itu benar-benar direalisasikan, dalam bentuk perbuatan dan tulisan.

Aku memang bukan mahasiswa yang seperti itu. Kusadari aku adalah orang yang realistis. Yang hanya melihat dan membaca situasi dan ujung-ujungnya berfikir, ya…begituah adanya…

Aku tidak mempunyai tingkat kepedulian setinggi itu untuk mengkritisi setiap hal politis yang terjadi di negri ini. Aku hanya suka membaca berita lalu sekedar mendiskusikan dengan beberapa senior dan teman-teman. Sebatas itu. Aku juga bukan orang yang suka turun ke jalan dan melakukan aksi. Aku malah cenderung kontra terhadap demonstrasi. Menurutku tidak begitu cara untuk menyalurkan apresiasi dan kritik agar didengar. Tentunya aku punya alasan sendiri dalam hal ini.

Ada satu hal yang kusuka dari sikap independen Gie. Hidupnya tidaklah tentang hitam dan putih. Ketika dia memilih sesuatu, hal itu lantas tidak berarti membuatnya langsung tidak suka pada pilihan lainnya. Gie menyediakan ruang abu-abu untuk kebimbangan dan ketidakpastian.

Berbeda dengan ‘Catatan Seorang Demonstran’ yang berisi tentnag tulisan-tulsan Gie, Buku ‘Soe Hok-Gie,sekali lagi…’ merupakan gabungan tulisan-tulisan tentang sosok Gie dari orang yang pernah mengenal dan berinteraksi langsung dengannya dan juga orang yang belum pernah bertemu namun terinspirasi dan kemudian mengaguminya.

Mungkin aku bukanlah pengagum Gie seperti mereka yang telah menulis di buku ini. Namun dari perepektifku dan dengan segala keterbatasan pengetahuanku tentang Gie.., aku mengakui Gie termasuk sosok fenomenal di zamannya.


Sebuah Tanya
Akhirnya semua akan tiba
Pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah kau masih berbicara selembut dahulu
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
Sambil membenarkan letak leher kemejaku
(kabut tipis pun turun pelan-pelan
Di lembah kasih, lembah mandalawangi
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjad suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
Ketika kudekap kau
Dekaplah lebih mesra, lebih dekat
(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi
Kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya
Kau dan aku berbicara
Tanpa kata, tanpa suara
Ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)
Apakah kau mash akan berkata
kudengar derap jantungmu
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta
(hari pun menjadi malam
Kulihat semuanya menjadi muram
Wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
Dalam bahasa yang kita tidak mengerti
Seperti kabut pagi itu)
Manisku, aku akan jalan terus
Membawa kenang-kenangan dan harapan-harapan
Bersama hidup yang begitu biru
29.01.11 – 10:28 pm. Rumah

0 komentar:

 

tentangku © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates