October 17, 2011

Di Atas Kereta


Di Atas Kereta
Oleh: Hafizhah

Pa,
Dulu Papa pernah bilang kalau menulis itu melegakan. Apalagi kalau hati sedang menanggung beban berat. Marah, sedih, rindu, cinta, bahkan maaf. Tapi entah kenapa aku tak pernah mencobanya. Bukan meragukan kata-katamu, Pa. Tapi meragukan kemampuan ku untuk menulis dan merangkai kata yang bagus. Nilai menulisku di kelas Bahasa dulu tak pernah lebih dari 7. Kurasa, aku tak punya bakat. Aku juga takut kalau maksud dan tujuanku tak tersampaikan lewat tulisan. Bagiku, berbicara lebih asik. Lebih langsung dan lebih ekspresif.
Tapi Pa, jangan marah kalau aku baru mencobanya sekarang ya? Butuh keberanian besar untuk menuliskan kalimat pertama. Takut salah. Takut jelek. Takut berhenti di tengah jalan. Tuh, bener kan Pa? Baru saja mau mencoba semua ketakutan sudah muncul lagi. Ah, bingung..
Pa,
Kabarku baik kok Pa. Selalu baik. Aku punya teman-teman yang baik disini. Memang tak selalu ada untukku Pa, karena yang bisa seperti itu cuma Mama dan Papa. Aku jarang sakit. Meski sering begadang, merokok dan pola makanku tak teratur, rasa-rasanya aku menjadi sosok yang lebih kuat sekarang. Aku sanggup tidak tidur tanpa sempoyongan besoknya Pa. Buat Papa, itu bukan suatu yang patut dibanggakan ya? Tapi bagi aku dan teman-teman, itu prestasi Pa.  
Kuliahku,..hmm,…. Aku berterima kasih karena Papa tidak pernah menuntutku. Tapi aku tau, akhir-akhir ini, hal itu yang menjadi beban buatmu. Aku mengerti dari raut wajahmu tertahan sebuah pertanyaan. Yang dulu pernah Papa lontarkan padaku dan seketika perasaanku berubah. Pertanyaan yang bisa membuatku uring-uringan. Itu juga yang membuatku malas pulang ke rumah. Padahal 2 jam perjalanan tidak akan ada artinya jika dibanding dengan senyummu yang menungguku di teras rumah dan urap sayur buatan Mama.

Waktu itu, aku tidak bermaksud melukai perasaanmu. Karena aku tahu, tanpa Papa tanyakan pun sebenarnya perasaanmu sudah cukup terluka karena terlalu lama menungguku. Papa sudah terlalu lama berada dalam dan penantian tak pasti sampai kapan, karena aku juga tak pernah berani memberi jawabannya. Aku sudah bilang Pa, aku kan berusaha tapi kenapa tatapan matamu seolah tak percaya? Itu juga membuatku terluka Pa. aku sudah bilang padamu untuk bersabar. Sebentar lagi saja. Aku juga tau banyak keluarga dan kerabat yang menanyakan hal ini padamu. Apalagi aku anak tertuamu. Aku yang punya tanggung jawab menggantikanmu jika kamu sudah…..ah, aku tak sanggup meneruskannya Pa.
Aku tak mau menggantikanmu. Papa tetap Papa. Dan aku tak akan bisa menyerupaimu. Meski orang bilang kita begitu mirip, tapi kita begitu berbeda. Aku tak sekuat kamu Pa. aku tak akan tahu bagaimana cara membesarkan anak, apalagi yang seperti aku..
Ketika aku bilang aku sudah berusaha, tidakkah kamu percaya Pa? aku sudah jarang absen sekarang, Pa. Nilai-nilaiku meningkat seiring skripsiku yang akhirnya selesai. Memang tidak mudah, Pa. apalagi teman-teman seperjuangan sudah tidak ada lagi. Aku sendiri memperjuangkan sebuah toga, Pa.
Untuk Papa.
Dan ketika aku bilang padamu untuk bersabar, aku mengucapkannya sambil berjanji Pa. Janji seorang lelaki. Bukan sekedar omongan yang seperti biasa kulontarkan. Karena aku tau, saat itu kan datang.
Sekarang, Pa. Aku ingin menyerahkan toga ini untukmu. Toga yang akan kupakai hari Sabtu, 2 minggu lagi.
-----
 Aku menatap jendela yang berada di sisi kiriku. Kulempar pandanganku sejauh mungkin. Roda kereta yang kunaiki perlahan melambat seiring suara peluit yang berbunyi nyaring. Aku menghela nafas. Pundakku terasa sedikit lebih ringan. Kumasukkan pena ke kantong jaket dan kulipat kertas tadi baik-baik. Kereta pun berhenti. Aku berjalan keluar gerbong seraya merogoh ponsel dari kantongku dan membaca ulang pesan singkat yang kuterima tadi pagi.
Bg,papa pergi…
Hatiku kembali ngilu.
------
Satu per satu orang pergi meninggalkan gundukan merah yang berada tepat dihadapanku. Mama menatap makam itu lama. Matanya menyiratkan kerinduan. Aku masih menggenggam tangan Mama.
“Yuk, pulang. Papa sudah tenang disana.” Mama mengajakku berdiri.
“Maaf Ma, seandainya bisa lebih cepat..pasti…” ucapanku terhenti
“Papa percaya kamu berusaha sekuat tenaga. Papa juga bersabar, seperti yang kamu minta. Tapi Tuhan berkehendak lain. Jangan jadikan beban, Nak,”
Aku tersenyum memandang sosok yang begitu tegar di depanku. Baru beberapa langkah aku meninggalkan makam, aku membalikkan badan. Kutatap makam itu sekali lagi. Kemudian megeluarkan secarik kertas dari kantong jaket dan meletakkannya dekat nisan. Aku mengambil batu kecil dan mengganjalnya supaya tidak diterbangkan angin.
“Ini tulisan pertamaku, Pa. Baca dari sana ya,” gumamku.
Aku menghela nafas. Lega.

0 komentar:

 

tentangku © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates