February 08, 2013

[review] Ronggeng Dukuh Paruk


 Maka orang akhirnya harus percaya akan keperkasaan sang waktu, akan kecanggihan isi perutnya yang mampu menyimpan segala rahasia sejarah. Tetapi, akan ada orang mengatakan, menyerah kepada kunci waktu dalah kelemahan dan keputusasaan yang harus dibuang jauh. Orang-orang semacam itu tetap tidak puas bila rekaman sejarah Srintil sepanjang dua tahun terhapus percuma dan hanya direlakan menjadi bagian rahasia sejarah.
Sejarah adalah sejarah.
Kedudukan sejarah sebagai guru kehidupan tak mungkin disingkirkan. Kedewasaan dan kearifan hidup bisa dibina, baik dengan sejarah pengkhianatan dan kebejatan manusia. 
Atau sejarah sesungguhnya tak pernah berhenti membuat catatan. Pabila sejarah tidak membuat catatan dalam prasasti atau lembaran kertas, dia membuatnya di tempat lain. Tentang riwayat hidup seorang manusia misalnya, maka sejarah pertama-tama mencatatnya pada kepribadian si manusia itu sendiri. 
Pengalaman-pengalaman yang lembut santai mungkin tidak tercatat dalam garis-garis kehidupan secara nyata. Namun, pengalaman-pengalaman yang keras dan getir akan tergores dalam-dalam pada jiwa, pada sikap dan prilaku, dan tak mustahil akanmengubah sama sekali kepribadian seseorang.
--- Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk, hal. 277 (buku tiga: Jantera Bianglala)

Mari kita mulai tulisan ini dengan potongan tulisan di atas. Setelah dihanyutkan dengan ramuan karakter, alur dan latar yang kuat dan memikat hati, kalimat diatas seolah menyentil alam logika.
Ronggeng Dukuh Paruk membawa kita pada sebuah masa dimana bangsa kita diwarnai oleh desa-desa terbelakang dengan gaya hidup yang tergantung pada alam, adat dan mistik. Secara detail digambarkan aktivitas masyarakat pada masa itu yang sarat dengan nilai-nilai sosial yang mereka anut.
Wanita memang selalu menarik untuk dibahas dalam peradaban. Bagaimana sosok wanita dalam masa ini digambarkan dengan kuat dalam berbagai karakter. Mengagumkan bagaimana sosok Ronggeng, perempuan biasa, istri pejabat, istri dukun ronggeng, istri masyarakat awam, atau si nenek, menyatu dalam ikatan budaya yang kemudian mau tidak mau terbawa arus perubahan zaman.  
Benar ini kisah cinta. Kisah cinta seorang ronggeng,  'wanita semua pria'. 
Seperti kisah Geisha. *ya karena baca Memoirs of Geisha duluan sih*. Tapi boleh ya, rating 5 of 5 buat trilogi ini. Ya, aku cinta Indonesia.

Eits, should i tell you ending of this book?
Yes, I hate that!  
  

0 komentar:

 

tentangku © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates