February 14, 2014

[review] Warna Air - Kim Dong Hwa


Merupakan buku kedua dari Trilogi Warna. Setelah di buku pertama, Warna Tanah, tokoh Ehwa pada Warna Air telah beranjak remaja. Kendati Ehwa menjadi lebih banyak bercerita kepada Ibu, tapi ia mulai memiliki rahasia, seperti layaknya gadis remaja. Tentang cinta, sosok lawan jenis yang mulai disuka, dan respon-responnya terhadap perasaan yang menyelimuti hatinya.
Masih memakai ‘bunga’ sebagai analogi dalam setiap perubahan psikologis yang terjadi pada diri Ehwa dan masih dengan gaya bahasa yang menyentuh, Kim Dong Hwa lebih berkisah mengenai bagaimana anak gadis di mata seorang Ibu. Dibuktikan dengan beberapa percakapannya dengan Ehwa yang sarat pesan, seperti (lupa cek halaman berapa):
Seorang anak sangat berharga, namun rapuh. Seorang ibu tidak akan membiarkan anaknya tidur di atas lantai yang kasar, makan buah yang bentuknya tidak sempurna, mengenakan pakaian compang-camping, atau menelan makanan yang sulit dikunyah. Begitulah hati seorang Ibu. (hlm. 166)
Jalan seorang wanita berbatu, dan jikalau kau tidak hati-hati, kau akan tersandung dan jatuh dan pincang sepanjang hidupmu. Hidupmu akan sulit dan selamanya kau akan jadi bahan tertawaan dan diasingkan.... Itulah sebabnya para Ibu sangat mencemaskan putri mereka, entah putri mereka berada di luar atau di dalam rumah.
Sesuai dengan usianya, Ehwa pun mulai merasakan yang namanya jatuh hati. Perasaan yang lebih kuat daripada ketika dirinya menyukai si Biksu dan si Pelajar. Kini Ehwa mulai menyukai sosok pria yang lebih dewasa. Dalam moment-moment inlah Ehwa dan Ibu sering membicarakan tentang cinta:
Namun, putriku sayang, meskipun cinta yang di mata bagaikan petir, cinta di hati adalah seperti perapian. Dan sebuah perapian adalah api yang terus menyala sepanjang malam. (hlm. 52)
Hati seorang perempuan benar-benar aneh. Ada saat-saat kita mendambakan perapian tempat kita bisa menghangatkan hati sepanjang malam. Jika tidak memeliki perapian, kita pun mengeluh. Tapi kita mencari penghiburan lewat kehadiran keluarga dan teman-teman. Meskipun begitu, kita mendambakan perapian berkobar-kobar yang dapat kita jaga sepanjang malam. (hlm. 53)
Tidak seperti bunga, manuisa –entah kaya atau miskin,cantik atau tidak—menilai tinggi diri mereka dan menghabiskan waktu dengan meributkan hal itu. mereka berusaha keras untuk menjadi yang pertama mekar, meskipun mereka belum siap.
Konflik yang dimunculkan dalam buku Warna Air juga lebih kompleks. Apalagi konflik ini terus berlanjut sampai ke penghujung cerita. Dan seperti biasa, bikin penasaran!
Yah, berarti mesti segera cari buku ketiganya, Warna Langit.


2 komentar:

Aul Howler's Blog said...

Jadi penasarann..

selama ini nggak kepikiran baca buku ini. soalnya terkesan agak berat hehe

Fhia said...

nggak kok aul...malah kayak baca komik -__-" baca giiih...pengen tau juga menurut aul gmn..

 

tentangku © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates