May 26, 2014

[review] Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah


Sejatinya, rasa suka tidak perlu diumbar, ditulis, apalagi kau pamer-pamerkan. Semakin sering kau mengatakannya, jangan-jangan dia semakin hambar, jangan-jangan kita mengatakannya hanya karena untuk menyugesti, bertanya pada diri sendiri, apa memang sesuka itu.
Yeay, Tere Liye lagi!
Kali ini seorang adek komisariat yang katanya baik hati dan ‘elok laku’ (kalem, nggak banyak ulah) meminjamkan begitu saja ke aku. Baik, kan? Namanya Ijek.
Sederhana, Borno. Kau bolak-balik sedikit saja hati kau. Sedikit saja, dari rasa dipaksa menjadi sukarela, dari rasa terhina menjadi dibutuhkan, dari rasa disuruh-suruh menjadi penerimaan, seketika wajah kau tak kusut lagi. Sayangnya itu lebih mudah dikatakan. Praktiknya susah. –Pak Tua (hal. 59)
Sama dengan karangan Tere Liye lainnya; sederhana.

Memang sudah kelebihan Tere Liye sepertinya mengemas kisah-kisah sederhana namun selalu penuh makna. Borno, bujang berhati lurus yang mengalami satu fase disebut jatuh cinta. Tapi...Cinta yang jauh dari kesan murahan. Kepolosan Borno kerap membuatnya bingung dengan yang namanya ‘perasaan’ dan ‘cinta’ sehingga membuat dia sibuk dengan pikirannya sendiri, dengan pertanyaan-pertanyaan yang sering dilontarkan kepada Pak Tua ataupun Andi. Pak Tua yang bijaksana memang tak jarang memberikan ‘kata mutiara’ meski sering juga mengolok-oloknya.
Dunia  ini terus berputar. Perasaaan bertunas, tumbuh mengakar, bahkan berkembang biak di tempat paling mustahil dan tidak masuk akal sekalipun. Perasaan-perasaan kadang dipaksa tumbuh di waktu dan orang yang salah. – Pak Tua (hal. 146)
Pak Tua benar, masa muda adalah masaketika kita bisa berlari secepat mungkin, merasakan perasaan sedalam mungkin tanpa perlu khawatir jadi masalah. - Borno (hal. 164)
Camkan, cinta adalah perbuatan. Nah, dengan demikian, ingat baik-baik, kau selalu bisa memberi tanpa sedikit pun rasancinta. Tetapi kau tidak akan pernah bisa mencintai tanpa selalu memberi - Pak Tua  (hal. 168)
Mei, gadis bermata sendu menawan. Gara-gara angpau merah yang ternyata sengaja ditinggalkan di sepit milik Borno, kisah itu dimulai. Sengan segala lika-likunya, ternyata angpau merah itulah yang menjadi kunci untuk mengkahiri cerita. Mengambil latar di Kapuas, bikin beberapa moment terasa lebih romantis. Coba bayangin nge-date diatas sungai naik sepit berdua. Jadi lebih gimanaaa gitu. Juga ada Sarah, dokter gigi yang ceria dan riang. Bisa dibilang Sarah Adalah ‘pihak ketiga’ dari hubungan mereka.

Aku tetap suka dengan gaya bahasa dan cara pemaparan cerita Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah, meski nggak segreget waktu baca Rembulan Tenggelam Di Wajahmu. Tapi apapun itu, kalau udah tentang cinta, selalu menarik buat diperbincangkan. Daripada cinta-cintaan ala sinetron mending pad abaca ini deh. Nih, bisa dibaca beberapa kata mutiara *ceile* dari sini:
Dalam banyak urusan kita terkadang sudah merasa selesai sebelum benar-benar berhenti.- Pak Tua (44)
Jangan sekali-kali kau biarkan prasangka jelek, negative, buruk, apalah namanaya itu muncul di hati kau. Dalam urusan ini, selalu berprasangka positif. Selalulah berharap yang terbaik. Karena dengan prasangka baik saja hati kau masih sering ketar-ketir memendam duga, menyusun harap, apalagi dengan prasangka negatif, tambah kusut lagi perasaan kau - Bang Togar (Hal. 299)
Nak, perasaan itu tidak sesederhana satu tambah satu sama dengan dua. Bahkan ketik perasaan itu sudah jelas bagai bintang di langit, gemerlap indah tak terkira teta[p saja dia bukan rumus matematika. Perasaan adlah perasaan. – Pak Tua (355)

0 komentar:

 

tentangku © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates