June 13, 2014

Jalan-Jalan ke Pusat Penangkaran Penyu Pariaman

3komentar
bergaya dulu sebelum masuk
 29  Maret 2014.
Lagi-lagi cerita lama yang baru diposting. Gara-gara mindahin foto-foto dari hp ke notebook aku jadi terinspirasi buat ‘nyimpen’ beberapa foto dan cerita disini. Untuk dibaca oleh anak cucu kelak. Duile...

sebagian kecil yg ikut. dari sini aku dapet banyak temen baru 
Acara yang disebut dengan #PiknikHijau dan aksi #SaveTurtle diadakan oleh @EHPadang alias Earth Hour Padang. Namanya juga #PiknikHijau, jadinya kita berangkat ke Pusat Penangkaran Penyu yang berlokasi Kota Pariaman, Sumatera Barat tepatnya di Jl. Syekh Abdul Arif, Desa Apar, Pariaman Utara dengan menggunakan kereta. Berangkat dari Stasiun Simpang Haru Jam 08.30, kami sampai di Pantai Gandoriah 2 jam berikutnya. Perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan angkot. Yaa...sekaligus menggalakkan gerakan menggunakan transportasi umum. Biar hemat J   
Banyak yang nggak tau, termasuk saya, bahwa Pariaman memiliki UPT Penangkaran Penyu yang lokasinya dikenal dengan sebutan Pantai Penyu. Terbukti ketika aku minta izin sebelum pergi ke orang tua, beliau nggak tau kalau tempat itu ada. Begitu juga teman-teman kantor yang langsung komentar dan bertanya-tanya ketika aku mengganti dp BBM.
saking udah lama ga ke Pariaman, aku baru tau kalo banyak grafiti disana. 



Sesampai di tkp, kami disuguhkan video tentang kehidupan penyu. Dari lahir, eh, menetas, kemudian berjuang ke pantai/laut, keseret-seret ombak demi memulai perantauan untuk bertahan hidup. Adalah wajar ketika kita tahu bahwa penyu termasuk binatang langka. Gimana nggak, dari belum lahir aja alias saat masih berupa telur, penyu udah menghadapi banyak tantangan dan cobaan. Tau kan, banyak orang yang mengincar telur penyu untuk dikonsumsi dan dijual.
Kemudian, ketika sudah menetas, tukik alias anak penyu harus ‘merekam’ hal disekitarnya. Pasir, bibir pantai, batu-batuan, semuanya! Makanya adalah hal terlarang jika kita memegang tungkai tukik,  meletakkannya di telapak tangan ataupun membantu tukik berjalan ke bibir pantai pada saat pelepasan. Kenapa? Karena tukik akan kembali ke pantai tempat dia menetas 30 tahun lagi sebagai penyu yang siap untuk bertelur dengan modal ‘memori’ tadi. Nggak banyak yang bisa bertahan selama 30 tahun itu, lho. Dari 100 tukik yang dilepaskan, cuma 10 (kalo nggak salah) yang bisa bertahan hidup. Bahkan ketika dia bertahan pun, nggak sedikit dari mereka yang ‘bingung’ ketika mesti kembali ke pantai. Yep, the world change so fast. Tempat yang dia tinggalkan tentu tidak akan sama lagi. Sumpah, aku baru tau tentang ini semua di sini. 


      Ada 4 jenis penyu yang berasal dari Sumatera Barat; Penyu Sisik, Penyu Lekang, Penyu Belimbing dan Penyu Putih. Jenis-jenis penyu inilah yang dikembangbiakkan. Oiya, telur penyu baru bisa menetas dengan tingkat kehangatan pasir yang ebrbeda-beda. Maka bapak-bapak di sini selalu dengan sabar mengontrol hawa pasir dan memindahkan telur-telur tersebut ke pasir yang berbeda-beda suhunya. Penyu disini dikasih makan ikan.  
ngasi makan penyu




di dalam pasir ini ada telur penyu
Di akhir sesi, kita dikasi kesempatan buat melepas penyu. Sayangnya dokumentasi pas moment ini nggak banyak di kamera aku. Soalnya udah sibuk sama tukik sendiri. Ada sih, video. Call me if you want to see.

pemandangan sekitar UPT
Run Tukik, Run! See u next 30 years!

June 06, 2014

Tentang Berkemas

1 komentar
gambar dari google
Membaca buku Life Traveler – Windy Ariestanty menggoda aku untuk membuat postingan khusus tentang satu hal: Berkemas.
Baca deh kalimat pembuka Windy:
Berkemas buat saya tak ubahnya dengan menyisakan ruang kosong lebih banyak agar bisa memuat lebih banyak – hal. 3
Kemudian yang ini;
Proses mengemas buat saya selalu menarik. Dan ini membutuhkan seni tersendiri. Kita harus memilih mana yang penting dan mana yang kurang penting. Kita belajar memutuskan. Belajar berani meninggalkan dan yakin tidak akan membutuhkannya ketika memutuskan, ‘ Yang ini tidak perlu dibawa’ – hal. 7
Setiap perjalanan -dekat ataupun jauh- yang kita mulai pasti diawali dengan pemikiran apa aja yang akan dibawa.  Untuk setiap perjalanan (literally), aku pribadi males buat bawa banyak barang. Menjadi perempuan yang tidak terlalu hobi ‘meng-gaya’ bisa sangat menguntungkan. Mau kemana-mana nggak terlalu repot, nggak mesti bawa banyak baju, sepatu, dsj. Aku masih ingat masa-masa ‘hobi’ mengelola training yang yang full 7 hari. Dimana ketika itu jeda antar satu training  ke training berikutnya bisa dibilang hanya 2 atau 3 hari, plus istirahat barang 1 atau 2 kali training. Otomatis kehidupan di kos ‘berpindah’ ke tempat yang dikenal dengan nama ‘Wisma HT 158’. Aku selalu hanya membawa 1 ransel. Kalaupun ada goody bag, itu dipakai untuk membawa 5 buah buku yang memang harus dibawa setiap pengelola training. Bagi seorang perempuan yang terkenal dengan banyak tetek-bengek nya di mata pria, itu bukan perkara biasa, Bro eh, Sis! Rentan menjadi bahan obrolan, bikin aku mesti sabar atas setiap komentar atau pertanyaan yang muncul;

‘Ih, dikit banget, emang cukup?’
‘Ondeh, enak ya, bawaannya nggak banyak.’
‘Cuma segitu?!’

Lagi-lagi ini menguntungkan waktu jadi Liaison OfficerTour de Singkarak, yang bikin aku berhasil menjajaki 17 dari 19 Kab/Kota Sumatera Barat dalam waktu 1 minggu dengan bawaan hanya 1 ransel dan tas samping kecil untuk menyimpan dompet, hp, racing schedule dan rundown acara seminggu.  Atau saat pergi Latihan Bela Negara selama 5 minggu di Secata B Padang Panjang, aku cuma membawa 1 tas jinjing tidak terlalu besar. Itupun masih banyak space kosong.  Meski akhirnya ‘pakaian preman’ itu harus di drop pulang karena toh akhirnya nggak ada yang kepake juga. Dari 26 orang perempuan, hanya aku dan 2 orang teman yang membawa 1 item tas.

Mungkin karena aku sadar, bawa banyak barang itu repot apalagi dengan kondisi badan yang kurus pasti bakal merasa berat dan nggak kuat kalau mesti bawa semuanya sendiri. J
Yah, malah ngalor ngidul.

Sebenarnya bukan itu yang mau dibahas, toh aku bukan Uni atau Pak Bos  yang sering dinas luar, nggak punya banyak pengalaman tentang packing. Sebenarnya ini tentang rasa penasaran aku tentang ‘seni’nya berkemas.

Kita belajar memutuskan. Belajar berani meninggalkan dan yakin tidak akan membutuhkannya. Begitu kan tadi?

Kalau dibawa ke dalam hidup kita sebagai khalifah di muka bumi #tsaaah, bolehlah aku mempertanyakan diriku sendiri (kita, kalau mau ikutan). Seberapa beranikah kita memutuskan ini penting atau tidak? Seberapa berani kita meninggalkan apa yang sebenarnya tidak dibutuhkan?

Anggap saja setiap pagi yang kita lalui adalah awal perjalanan yang baru. Maka setiap pagi pulalah kita akan berkemas. Membawa apa yang perlu dan meninggalkan apa yang sekiranya memberatkan. Apakah kita akan memulai hari yang baru dan mencampurkannya dengan apa yang telah dilalui hari sebelumnya. Bagaimana kita memutuskan seberapa banyak yang akan kita bawa? Jika seandainya kita membawa ‘kemarin’, maka ‘hari yang baru’ itu tidaklah bisa dikatakan baru karena sudah ternodai oleh ‘yang lalu’. Kalau memang setiap hari adalah lembaran yang baru, tentu hidup jadi lebih seru. Kayak iklan minuman bersoda yang liriknya:
Buka kita buka hari yang baru, bukalah buka semangat baru.
Oke, itu tentang satu hal kecil. Mari kita geser sedikit analogi tadi menjadi tentang ‘fase kehidupan’ atau yang biasa disebut-sebut sebagai ‘naik kelas’.

Seperti mendaki gunung (katanya sih, aku kan belum pernah), si pendaki mesti pinter-pinter memilih perlengkapan yang dibawa dan mengatur siapa yang membawa apa. Jika tidak, tentu akan menambah kesulitan saat melalui medan yang semakin curam saat menuju puncak. Tidaklah, tentang mendaki. Tentang hidup yang lurus-lurus aja.  Seberapa berat beban hidup kita? How does our life weigh?
Imagine for a second that we’re carrying a backpack. Feel the straps on our shoulder. Then, pack it with all the stuff that happen in our life. Feel the weight as that adds up. Now, try to walk. I think it’s kinda hard, isn’t it? Kalau semua mau dibawa dan dimasukkan ke dalam backpack, yang ada justru memberatkan, memusingkan, merepotkan. Pokoknya yang susah-susah deh. Membayangkannya aja ribet apalagi mengalaminya, yes?
Begitulah.

Mungkin benar apa yang dibilang penulis buku itu. ternya berkemas pun ada ‘seni’nya. Buat aku, ternyata berkemas pun bisa jadi tulisan sepanjang ini, #halah
Hidup ini terlalu pendek dan ia bergerak tanpa menungu saya. Waktu tak peduli seberapa cepat kita berjalan. Time always move in constant motion. Saya yang harus menentukan ritme gerak saya. – hal. 10

Yep, inginnya aku tidak memberatkan hidup dengan urusan yang kurang penting. Now I’m gonna set that backpack down. I think it’s gonna be exhilarating. Because I’m sure that we don’t need to carry all those weights. Sekarang tinggal belajar memilih mana yang penting dan tidak. Meski itu tidak pernah benar-benar mudah untuk sebagian besar kita.

Maafkan bahasa aku yang campur-campur. Maafkan juga tengah malam malah nulis beginian. Efek tidak bisa tidur padahal masuk pagi dan bertepatan dengan jadwal closing.
Selamat bingung bagi yang mau bingung. Selamat berfikir bagi yang mau berfikir.
Sekian dan terima pitih J

00:44
Senin, 2 Juni 2014.

June 04, 2014

Mengenang masa-masa menjadi LO Tour de Singkarak

5komentar

Atribut LO
bersama Koor LO (yang di belakang)
Beberapa hari eh, 2 hari deh, menjelang Tour de Singkarak 2014.  
3 tahun berturut-turut menjadi LO a.k.a Liaison Officer meninggalkan banyak cerita dan  pengalaman. Meskipun sekarang hanya tinggal kenangan karena nggak bisa lagi menjadi bagian dari kemeriahan ajang balap sepeda tahunan yang diadain oleh Kemenparekraf *duile bener nggak sih ini tulisannya* *kalo salah kan malu-maluin* *ntar disuruh ulang lagi jadi LO baru tau* #appeu.
Boleh lah ya sekedar berbagi cerita, mengenang kembali masa-masa ‘jaya’ plus bahagia. Gimana nggak, lha wong kerjaannya jalan-jalan, dibayar lagi! Siapa yang nggak mau? Bisa sekalian latihan Bahsa Inggris pula. Wuih deh pokoknya. 
Full Team
3 tahun. 3 kali. Sebanyak itu aku dipercaya untuk memandu tim dari negara Taiwan. 2011, bersama Fuji Cyclingtime[dot]com, meskipun sekarang tim nya sekarang udah bubar. 2012 dan 2013 aku disandingkan buat Action Cycling Team, yang sekarang berganti nama dan status (udah jadi Continental Team) jadi Team Gusto. Aku jadi heran, kok dapetnya Taiwan terus ya? Yaudahsih, mudah-mudahan aja suatu saat bisa kesana.
Menjadi Liaison alias penghubung itu susah-susah gampang. Beruntung lah kalau dapat tim yang riders dan officialnya bisa berbahsa Inggris, atau timnas Indonesia sekalian. At least, nggak akan ada kesulitan berarti dalam berkomunikasi. Beda sama Taiwan. Bersama ACT yang sebagian besar riders nya nggak bisa bahasa Inggris itu bikin #sigh moment banget! Karena disana kita mesti belajar satu bahasa universal; Bahasa Tubuh. Untungnya mereka mau belajar. Bahkan sepertinya mereka termotivasi untuk bisa berbahasa Inggris setelah aku bilang percuma jadi Atlet Internasional tapi tiap mau presscon mesti bopong-bopong translator *silahkan  bayangkan gimana kira-kira nyampein ini pake bahasa tubuh* 
dinner beberapa LO
Comissaire 2,
ini U-21 lho
 Tahun pertama kenal ACT, 2012, official team aku adalah ibuk-ibuk rempong tapi baik hati dan penuh perhatian yang hobi ber-rok pendek. Seksi? Ndak do lai! Iya pake banget. Jadinya si bukbos itu panggilan aku dan temen-temen LO manggil sering dibecandain sama driver tim lain. Bermodal bahasa inggris pas-pasan driver-driver itu selalu bilang kalo si bukbos adalah pacarnya.  Tapi si bukbos nya nggak pernah marah,malah bakalan dibales pake becandaan juga. ACT masuk 5 besar tahun itu. Jadinya aku kecipratan dapet tip yang ‘lumayan’ juga.
Tahun kedua bersama ACT, officialnya ganti. Nggak ada perempuan, otomatis aku jadi yang paling cakep diantara mereka J.
1 juni 2013, adalah hari kedatangan tim ke Indonesia. Hari itu juga aku wisuda.  Alhasil aku nggak menyambut kedatangan mereka di bandara dan dengan terpaksa ‘menitipkan’ ke LO yang lain. Yang berkesan lagi, aku ngalamin yang namanya ‘kecelakaan’. Yep, kecelakaan, literally. Waktu itu di Etape 1 menuju Bonjol. Kan jalannya belok-belok tuuuh, dan entah kenapa, pas lagi belok, eh mobilnya hampir masuk sungai di sisi kanan. Pas juga aku duduk di sisi kanan, belakang supir. Di kiri aku ada icebox buat nyimpen stock minuman dan makanan buat feeding (ngasi minum dan makan selama racing sedang berlangsung) yang otomatis bergeser ke arah aku karena kemiringan mobil. Untung aja nggak ketindihan. Sedikit lagi. Tuh mobil udah goyang-goyang karena tinggal satu ban belakang yang nahan di sisi jalan dan satunya lagi nyangkut di ranting-ranting pohon.  Sayang, fotonya (warga setempat yang ngambil foto, trus driver team aku minta kirimin juga ke hp nya)  udah aku hapus dari hp. Waktu itu takut kalau ada anggota keluarga di rumah yang ngutak-ngatik trus liat, trus nanyain dan ntar malah ngelarang nggak bole kemana-mana lagi.
Pre Race
Pelepasan Tukik
Bareng Ryan, Palanta-ers juga.
Moment paling deg-degan adalah ketika racing. Alhamdulillah, 3 kali itu juga aku dibolehkan ikut dalam racing car, mobil yang mengiringi riders saat racing. Kita nggak dibikin dan nggak boleh  ngantuk selama racing berlangsung. Satu lagi. Nggak boleh minta berhenti buat pipis! Aplagi kalau perempuan. Bakal repot. Makanya waktu Etape 3 sepanjang 208 km, aku bersyukur ada kejadian dimana racing dihentikan sebentar karena ada pohon runtuh di Kelok Maninjau. Di waktu yang sempit itu, aku minta tlg sama penduduk setempat untuk dianterin ke pemukiman terdekat  karena di tkp nggak ada rumah penduduk buat numpang pipis. What a day!
Jadi, selama racing team car diizinkan ngasi minum dan cemilan buat riders setelah diizinkan Comissaire alias yang jadi juri dan bertugas buat ngeliatin jalannya racing. Driver mesti hati-hati dalam mengatur kecepatan untuk mengiringi riders yang juga lagi ngayuh sepeda sambil bertransaksi botol minuman atau makanan. Driver juga mesti awas dengan keadaan sekitar karena bakalan ada riders yang mengejar dari belakang mobil dan bisa jadi nggak keliatan. Atau mesti sabar buat ngadepin klakson dari mobil team lain yang juga mau ngejar ridersnya di depan kita . apalagi kalau jalan sempit. Uh, seru deh!
Well, overall...

I thank God to give me that chance. Temen-temen aku jadi makin banyak. Sesama LO juga selalu ngumpul tiap malam buat tukar cerita tentang tim masing-masing. Yang paling penting, karena TdS aku bisa keliling Sumatra Barat. 
ada photo-boothnya 
                               

June 02, 2014

[review] Life Traveler - Windy Ariestanty

1 komentar

Terima kasih kepada @penuliscemen yang telah meminjamkan buku ini. Nggak murni minjem juga sih, tukar pinjam tepatnya. Aku meminjamkan buku Eka Kurniawan, dia meminjamkan aku ini. Udah lama juga nggak minjem buku ke orang.
Bercerita tentang pengalaman penulis selama travelling di berbagai negara. Kita dibawa meloncat-loncat dari suatu tempat ke tempat lainnya. Aku mengira Windy Ariestanty akan bercerita tentang pengalamannya travelling di Indocina aja, karena itulah yang disuguhkan di awal bab. Ternyata kita dikasih lebih, nggak hanya Indocina, penulis juga bercerita tentang pengalamannya selama di Eropa, seperti Prancis, Jerman, Czech a.k.a Ceska a.k.a Ceko, dan Belanda. Bahkan di akhir bab buku ini juga ada tambahan cerita jalan-jalannya di Indonesia. Sejujurnya ini bikin bingung sih, karena ada bebrapa yang flashback dari perjalanan sebelumnya.
Tapi yang asyik saat membaca buku ini adalah, nggak hanya tentang jalan-jalannya aja. Menceritakan latar tempat adalah hal biasa dalam novel travelling. Yang bikin beda adalah penulis juga menyisipkan beberapa pandangan-pandangan terhadap apa yang dia lihat. Kita jadi tau bagaimana si penulis memaknai nggak hanya setiap perjalananya, tapi juga semua hal yang berhubungan dengan itu. Mulai dari berkemas, melihat kearifan lokal, menunggu, bahkan tentang pulang.
Ini yang berhasil aku kutip, dari novel Life Traveler. Tentang Windy yang melihat perjalanan lebih dari sekedar jalan-jalan:
Berkemas buat saya tak ubahnya dengan menyisakan ruang kosong lebih banyak agar bisa memuat lebih banyak – hal. 3
Hampir setiap hari kita hidup dalam batasan yang dibuat orang lain, nilai kebenaran yang berlaku umum karena dibentuk oleh lingkungan sosial kita. Perjalanan memberikan kita jeda dari itu, sedikit merdeka dari batasan tadi – Hal. 100
Cinta adalah sebuah perjalanan yang tak bisa ditempuh dalam satu atau dua hari. Tidak juga dalam sebulan atau saru tahun. Tidak ada peta untuk menemukan tempat bernama cinta. Tak ada buku panduan travelling yang bisa menuntun kita kesana. Cinta adalah perjalanan panjang, ia tumbuh tua bersama waktu dan manusia. Dan ia tak pernah benar-benar jauh, selalu memeluk manusia dengan erat. Mengisi celah yang mungkin hanya sejengkal itu. Memberi kita alasan untuk selalu pulang. – hal. 117.
Menunggu memang seperti sebuah jebakan. Bersembunyi di antara sela-sela waktu yang tak terduga. Ketika saya ingin bergegas, ia justru membuat saya harus memelankan langkah. Meminta saya melihat sesuatu dengan lebih jeli. Memberi saya sedikit ruang untuk menarik nafas untuk menikmati apapun tanpa tergesa – hal 233.
Entah di sudut mana, ia meninggalkan kita dalam rasa sesal karena kehabisan waktu. Padahal waktu tak pernah habis. Ia hanya terus bergulir dengan iramanya yang konstan, ia meninabobokan kita hingga lupa untuk bergegas. Kita tertinggal. Sementara ia terus melesat. Saya kerap berpikir, waktu ini seperti makhluk yang tak mau kalah. Selalu ingin jadi pemenang. – hal. 265
Membaca buku ini membuat aku ingin melakukan perjalanan lagi. Ingin kembali merasakan sensasi melihat sesuatu yang baru. Tetapi kali ini inginnya menceritakan lengkap dengan segala detail. Mengamati hal-hal yang mungkin terlewati; moment, ekspresi, atau sensasi. Merekamnya di otak dan menuliskannya di catatan untuk kemudian di posting kalau sempat.
Rindu rasanya. Apalagi setelah memasuki dunia 08-05. Masuk jam 8, pulang jam 5 kalau nggak lembur. Bukan, bukan berarti aku mengkambinghitamkan dunia yang aku pilih ini. Aku bersuyukur malahan. Nyari kerja nggak gampang, apalagi dengan penghasilan yang ’lumayan’ untuk aku yang masih sendiri. And i swear to God, it’s worthed. Hanya karena masih baru dan belum mengenal cuti, jadi keinginan untuk jalan-jalan ke tempat yang jauh harus disimpan dulu. Mungkin dimulai dari tempat-tempat di Sumatra Barat aja dulu kali ya.
Eh, jadi inget. Ada hal yang mesti aku syukuri. Menjadi mahasiswa selama 5 tahun 7 bulan membuat aku memiliki kesempatan melihat lebih banyak. Dan itulah yang membuatku ingin mengalaminya lagi.
Eits, satu lagi. Kita juga diingatkan untuk ‘pulang’ ke ‘rumah’, setelah melakukan perjalanan.
Home is a place where you feel more comfortable. Home is a place where you can be and find yourself. – hal. 349

June 01, 2014

Dialog Sepi

1 komentar

Malam ini hanya bersama musik.
Semakin sepi, semakin sesak.
Hujan turun bersama air mata, lalu tenggelam di laut.
Aku merindukanmu; Dialog sepi sendiri denganku.
Hari ini aku menunggu.
Dari detik-detik yang kulewati kemarin.
Tapi kenyataan mengharuskan kita beradu punggung.
Anganku tertiup.

 

tentangku © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates