July 01, 2014

[review] Amba: Sebuah Novel - Laksmi Pamuntjak


Mungkin itu sebabnya kita diajari untuk tidak mengumbar kata, karena begitu sesuatu diikrarkan, kita terikat dan tidak bisa menariknya kembali. Di hari itu aku semakin sadar, tak ada laku yang lebih ksatria dibanding menepati janji – hal. 289
Jleb banget yak?

Butuh waktu dan energi yang lumayan besar untuk menyelesaikan Amba. Novel berlatar sejarah 1965 setebal  496 halaman ini awalnya memang sedikit bikin bingung. Bingung karena,meskipun diramu dengan gaya bahasa yang puitis, kisah yang padat dengan nilai sejarah dan politik bikin aku ga kemudian langsung mengerti dengan sekali baca. Mesti pelan-pelan biar lebih menjiwai  #yakali.  

Memang tentang cinta. Namun mencintai Bhisma, seorang aktivis perkumpulan yang dinilai ‘bertentangan’ pada zaman itu tentu tidak mudah. Pun, mencintai seorang Amba, perempuan yang ‘berbeda’ dari kebanyakan kaumnya  pada masa itu juga bukan perkara gampang. Amba memiliki keteguhan hati dan prinsip. Beradu argument dengan adiknya yang kembar tentang apa itu kebahagiaan dalam membangun rumah tangga, Amba berani mengatakan bahwa ia pikir Ibunya tidak bahagia. Paling tidak begitulah yang dia lihat. Dan dengan gamblangnya Amba mengatakan ia tidak mau seperti itu. Bahkan Amba mampu membuat Si Ibu menangis-nangis karena lebih memilih kuliah dan meraih mimpi-mimpinya ketimbang menikah. Wel, buat kita yang hidup di zaman sekarang mungkin itu biasa. Tapi masa itu? Lain cerita! Terlepas setuju atau tidak pada akhirnya setelah dewasa, bagi Amba, Ibu tetaplah dipandang sebagai sosok yang berperan dalam menanamkan nilai-nilai kehidupan untuk diri dan adik kembarnya.
Rahasia itu, Nduk, seperti kain lurik. Kita pakai di badan kita seperti tidak ada apa-apa di permukaan, tapi hangatnya menyelimuti tubuh. Itu akan membuat kita tak tergantung pada siapapun. Jangan mudah takut. – hal. 174
Bukankah ibu selalu mengajarkan, sebagai perempuan Jawa tenan, kau tak boleh mengumbar perasaan; Kita tidak dilahirkan dengan bakat menangis di panggung orang ramai.
Ibu, disini, tidak ada panggung orang ramai. – hal. 206
Aku mulai benar-benar menyukai novel ini ketika surat-menyurat antara Salwa dan Amba. Gimana tutur kata Salwa dalam mengekspresikan kerinduan-kerinduan dan harapannya tentang masa depan. Juga sikap Amba dalam merespon setiap surat; setiap keraguan yang muncul, setiap keheranan yang muncul karena Salwa yang begitu setia, semua ditulis dengan bahasa yang penuh kias. Sudut pandang yang berganti-ganti sesuai dengan tokoh membantu aku yang akhirnya mengerti jalan cerita novel ini. Bukan sekedar ‘cinta segitiga’. Karena dari novel ini aku baru tau dan tertarik dengan kisah Mahabrata, bahwa Amba adalah tokoh perempuan yang ditolak dua kali, oleh dua pria yang berbeda. Meskipun dalam novel ini Amba nggak secara eksplisit ditolak juga sih.  Tentang perjuangan Amba mengejar Bhisma sampai ke Pulau Buru dengan segala kenekatan seorang perempuan yang sudah berusia lanjut demi menjawab tanda tanya masa lalu berujung sia-sia, ada poin menarik disana...
Jika aku berbuat dan kalah, setidaknya kekalahan itu tidak kehilangan nilai. – hal. 260
Satu lagi yang membuat aku terkesan dengan novel ini, karena menjadikan Pulau Buru sebagai latar tempat. Jadi bikin nambah wawasan tentang Pulau yang terkenal dengan pengasingan. Kalau ada novel yang ngambil latar di sana, mau deh baca lagi. Entah kenapa aku cukup tertarik dengan cerita-cerita tentang kondisi 1965 yang dibalut dengan ‘ringan’ seperti ini.

Oya, banyak kalimat-kalimat yang bisa diambil buat pembelajaran hidup:
 Aneh memang: selalu ada yang membuat terlena dan tak berdaya pada hujan, pada rintik dan aromanya, pada caranya yang pelan sekaligus brutal dalam memetik kenangan yang tak diinginkan. – hal. 24
Apabila kita bertanya pada seorang ksatria tua, apa keberanian yang paling purba, dia akan menjawab: kewajiban. – hal. 58
Harga diri sering dekat dengan tinggi hati. – hal. 208
Bukankah terpisah,mengucapkan selamat  tinggal, adalah salah satu krisis terhebat dalam kehidupan manusia? – hal. 215
Sebab satu-satunya hal yang kekal adalah cinta orang tua pada anaknya dan cinta itu adalah yang bahagia melihat anaknya bahagia. – hal. 291
 Well, guys, I give 4 of 5 stars for this. Selamat membaca, terus saling berbagi komentar deh. Karena mana tau, apa yang aku nilai nggak sama J   
Kadang-kadang hidup ini bisa begitu...begitu sinting. Bahwa situasi tertentu sering mengundang tafsir tertentu. – hal. 23

1 komentar:

@LaksmiWrites said...

Terima kasih, Fhia, sudah menyempatkan diri untuk membaca (dan mereview) Amba.

Salam,
LP

 

tentangku © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates