October 19, 2016

[review] Genduk - Sundari Mardjuki



Judul: Genduk
Penulis: Sundari Mardjuki
Penerbit: Gramedia pustaka Utama
Tahun terbit: Juli, 2016
Halaman: 232
Rating: 3 of 5

Awalnya tertarik dengan Genduk karena diskon 25% dari Gramedia untuk buku-buku yang masuk nominasi Kusala Sastra Khatulistiwa 2016. Berhubung aku nggak terlalu suka baca buku puisi dan untuk kategori prosa udah baca buku O, pilihanku jatuh ke Genduk.

Buku tipis ini selesai aku baca hanya waktu 1, 5 jam. Ceritanya ringan, mengalir begitu saja, tanpa mesti berfikir keras. Tipikal buku yang memang lagi aku butuhkan karena lagi pengen baca buku yang nggak berat dan bisa langsung selesai sekedar untuk bikin otak segar.

Adalah Genduk, gadis yatim berusia sebelas tahun yang hidup dalam keterbatasan. Tidak hanya keterbatasan finansial tapi juga keterbatasan pengetahuan tentang sosok Pak’e, ayah kandungnya. Yung, singkatan dari biyung atau ibu, juga tidak bisa Genduk harapkan untuk bercerita tentang ayahnya karena responnyayang kerap membisu ketika ditanya. Konflik mulai menguat ketika rok warna oranye ubi jalar milik temannya mampu membakar hati Genduk yang sudah tak sanggup  lagi menahan laku prihatin setiap kali musim panen tembakau datang. Entah itu karena gejolak pubertas seorang gadis yang beranjak dewasa, yang ingin tampil cantik jelita, Entah itu karena hati yang sudah penuh dengan masalah-masalah yang ditahannya selama ini. Genduk memutuskan melakukan tindakan yang bahkan tak pernah dia pikirkan sebelumnya.

Tidak hanya Genduk, karakter masing-masing tokoh di buku ini pas, nggak lebay, dan menurut aku semua berjalan sesuai alurnya. Berlatar belakang kehidupan petani tembakau di lereng Gunung Sindoro, nuansa pedesaan yang digambarkan cukup kuat. Bahasa daerah yang digunakan untuk membangun tokoh dan menghidupkan suasana pun dirasa tidak berlebihan. Aku aja ngerti bacanya, padahal bukan orang jawa.

Meskipun ide ceritanya sederhana, salut deh sama penulisnya yang rela sebelumnya melakukan penelitian selama 4 tahun supaya tau proses tembakau sejak ditanam sampai panen. Kayaknya nggak sia-sia deh perjuangnnya. Meksipun mengambil latar tahun 1970-an, pembaca nggak perlu bingung untuk set their mind into that time karena penulisnya mewarnai cerita dengan kondisi sosial yang mungkin terjadi  di masa itu. Misalnya, penulis masih memasukkan cerita tentang PKI atau tentang ritual Yung dalam berdoa.  Eh, itu pendapat subjektif aku sih ya.      

Namun, ketika ada yang bilang novel ini seolah menjadi bayang-bayang novel Ronggeng Dukuh Paruk, aku cenderung mengiyakan. Memang sekilas novel ini mengingatkan aku dengan Ahmad Tohari. Malahan entah kenapa aku juga inget Gadis Kretek dan Entrok, padahal ceritanya nggak mirip. Tapi itu nggak mengganggu aku sih. Apalagi ketika mbak penulisnya menyebut AT sebagai salah satu penulis yang menginspirasinya. Katanya sih, itu biasa.

Aku suka buku ini! Covernya juga bagus. 

p.s: cerita ini terinspirasi dari kisah ibu kandung penulis sendiri, lho.


0 komentar:

 

tentangku © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates